Florence Nightingale tidak hanya dikenal sebagai pelopor keperawatan modern. Ia juga dikenal sebagai penulis dan ahli statistik terkemuka di jamannya.
Hampir semua yang pernah mengenyam pendidikan keperawatan tidak asing dan bahkan mungkin hafal betul dengan julukan The Lady of The Lamp, sebuah julukan yang disematkan pada Florence Nightingale atas aksi heroiknya dalam Perang Krimea di Semenanjung Krimea, Rusia tahun 1854.
Sejarah telah menunjukan bahwa aksi Florence Nightingale tersebut berperan sangat penting dalam perkembangan dunia keperawatan sampai saat ini. Bagaimana kisah-kisahnya, catatan dan buku-bukunya kini menjadi “kitab” bagi perkembangan ilmu dan kiat-kiat keperawatan.
Sosok Florence Nightingale dalam kancah sejarah dunia keperawatan begitu harum. Tinta emas yang ditorehkannya bahkan mampu mengalahkan pamor seorang Rufaidah Al-Anshariyah – seorang perawat muslim pertama yang hidup di jazirah arab 12 abad sebelum Florence dilahirkan.
Masa Kecil Florence Nightingale
Florence Nightingale lahir di Kota Firenze (dalam bahasa Italia) atau Kota Florence (dalam bahasa Inggris) – Italia pada 12 Mei 1820.
Florence dibesarkan dalam keluarga yang terhormat dan berada. Ayahnya, William Nightingale adalah seorang tuan tanah kaya raya di Derbyshire, London, Inggris. Sementara ibunya adalah seorang dari keturunan ningrat di Italia. Diketahui, Florence mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama Parthenope Nightingale.
Keluarga Nightingale – layaknya sebuah keluarga kaya raya – mempunyai gaya hidup dan martabat yang tinggi. Namun hal tersebut ternyata tidak berlaku untuk Florence.
Berbeda dengan Parthenope yang sangat menjunjung tinggi martabat dan gaya hidup kebangsawanan ala Italia, Florence justru sering bergaul dengan warga sekitar dan tidak ragu untuk memberikan pertolongan bagi yang membutuhkan.
Florence mengatakan bahwa “telah mendapat panggilan dari Tuhan” untuk “to do something toward lifting the load of suffering from the helpless and miserable.” (untuk membantu meringankan penderitaan dari mereka yang sengsara dan tak berdaya)
Dan sifat inilah yang dalam tahun-tahun berikutnya, mengantarkan Florence menyandang julukan The Lady with The Lamp.
Mengunjungi Jerman : Perjalanan yang Mengubah Segalanya
Pada usia 26 tahun atau tepatnya tahun 1846, Florence terbang ke Kaiserwerth, Jerman dan bertemu dengan Pendeta Theodor Fliedner beserta istri. Disana, Florence berkenalan lebih jauh mengenai konsep rumah sakit modern yang digagas oleh sang pendeta dan dikelola oleh Biarawati Lutheran.
Florence sangat terpesona dengan konsep rumah sakit modern tersebut, belum lagi komitmen dan kepedulian yang ditunjukan para biarawati terhadap pasien-pasiennya sangat membekas dalam ingatan Florence remaja.
Dan itulah awal mula seorang Florence Nightingale jatuh cinta pada pekerjaan sosial dan keperawatan.
Lamaran, Angan-Angan dan Tentangan Keluarga
Florence muda dikenal memiliki paras yang cantik nan menarik. Jauh mengalahkan kakaknya, Parthenope.
Apalagi, hal tersebut ditunjang dengan status putri tuan tanah kaya raya. Lengkap sudah kesempurnaan seorang Nightingale.
Lamaran dan tawaran menikah datang silih berganti kepadanya. Bahkan diketahui, pada tahun 1851, seorang penyair terkenal berdarah ningrat, Richard Monckton Milnes, mengajukan lamaran untuk menyunting Florence.
Namun Florence tak bergeming. Lamaran-lamaran tersebut ia tolak. Pengalamannya mengunjungi Jerman tahun 1846 masih membekas dan membentuk sebuah angan untuk mampu berbuat lebih dan mengabdikan diri pada pekerjaan sosial keperawatan.
Tentu saja hal tersebut ditentang keras oleh keluarganya. Terutama ibu dan kakaknya.
Wajar memang, mengingat pada masa itu di Inggris masih terdapat anggapan bahwa, menjadi seorang perawat adalah suatu pekerjaan yang hina dan rumah sakit adalah sebuah tempat yang jorok.
Sehingga, banyak orang yang hidup pada masa tersebut, lebih memilih untuk memanggil dokter datang ke rumah dibanding pergi ke rumah sakit yang jorok.
Setidaknya, ada 5 alasan yang menjadikan perawat dianggap pekerjaan yang hina pada saat itu, diantaranya;
- Perawat pada masa itu disamakan dengan wanita tuna susila
- Perawat identik dengan keluarga tentara yang miskin yang mengikuti kemana tentara pergi
- Perawat, dalam banyak kasus, harus berhadapan langsung dengan tubuh dalam keadaan terbuka, sehingga dianggap profesi yang tidak sopan. Bahkan banyak dari mereka yang diperlakukan tidak senonoh.
- Perawat di Inggris pada masa itu lebih banyak dari kaum laki-laki daripada perempuan karena alasan diatas
- Perawat mempunyai banyak pekerjaan selain merawat, salah satunya tukang masak dan tukang bersih-bersih.
Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan apa yang Florence lihat di Jerman, dimana perawat dan perawatan bisa dilakukan dengan baik tanpa adanya stigma miring dan negatif.
Walaupun begitu, hal tersebut harus dibayar mahal karena di Jerman pada masa itu, seseorang yang hendak menjadi seorang perawat atay biarawati katolik, akan disumpah untuk tidak menikah guna melindungi mereka dari perlakuan yang tidak hormat dari pasien.
Sang ayah, walaupun dengan berat hati, akhirnya mengizinkan Florence untuk mengabdikan diri dalam kegiatan kemanusiaan. Namun, ia tidak setuju jika Florence menjadi seorang perawat yang bekerja di rumah sakit – yang menurut anggapan adalah sebuah tempat yang jorok.
Namun apa mau dikata, penentangan dari keluarganya justru semakin membakar semangat jiwa muda Florence untuk terbang ke Kaiserwerth,Jerman dan mengikuti pelatihan perawat bersama biarawati Jerman di Institution of Protestant Deaconesses at Kaiserswerth.
4 bulan lamanya Florence belajar di Jerman, tentunya selama itu pula tekanan dari keluarganya terus berdatangan silih berganti.
Diketahui, sebelum kembali ke Inggris tahun 1853, Florence pernah menyempatkan diri bekerja di rumah sakit untuk orang miskin di Prancis.
Kembali Ke Inggris
Sekembalinya ke London, Inggris pada tanggal 12 Agustus 1853, Florence langsung mendapat pekerjaan sebagai Pengawas Bagian Keperawatan di Institute for the Care of Sick Gentlewomen. Sebuah rumah sakit kecil yang berdiri di Upper Harley Street, London, Inggris.
Sang ayah, yang mengetahui besaran gaji yang diterima Florence di rumah sakit, memberinya tunjangan £500 per tahun (setara dengan £ 25,000 atau Rp. 425 juta pada masa sekarang), sehingga hal tersebut membuat Florence dapat hidup dengan nyaman dan meniti kariernya.
Semasa bekerja di Institute for the Care of Sick Gentlewomen tersebut, Florence pernah menentang Komite Rumah Sakit yang menolak untuk menerima pasien yang beragama Katolik.
Dengan mengancam bahwa Ia akan mengundurkan diri, akhirnya Pihak Komite Rumah Sakit mengubah peraturan tersebut sesuai dengan permintaan Florence.
rumah sakit akan menerima tidak saja pasien yang beragama Katolik, tetapi juga Yahudi dan agama lainnya, serta memperbolehkan mereka menerima kunjungan dari pendeta-pendeta mereka, termasuk rabi, dan ulama untuk orang Islam
Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal sumpah perawat yang “tidak membeda-bedakan suku, agama dan ras dalam perawatan.”
Diketahui, bulan Oktober 1854, Florence berhenti dari Rumah Sakit tersebut dan pergi ke Turki untuk membantu Tentara Inggris dalam Perang Krimea.
Perang Krimea : Tinta Emas Florence Nightingale
Perang Krimea adalah perang yang mempertemukan Kekaisaran Rusia melawan sekutu yang terdiri dari Prancis, Britania Raya, Kerajaan Sardinia dan Kesultanan Utsmaniyah.
Perang berlangsung selama 3 tahun, antara tahun 1853 sampai tahun 1856.
Namun, walaupun “hanya” 3 tahun, tidak adanya perawatan untuk para prajurit yang sakit dan luka-luka menambah rentetan pilu kecamuk perang yang berlangsung di Semenanjung Krimea, Rusia tersebut.
Adalah William Russel yang dalam tulisannya untuk harian TIME mengungkapkan bahwa banyak prajurit-prajurit yang luka bergelimpangan di tanah tanpa adanya perawatan sama sekali.
“Apakah Inggris tidak memiliki wanita yang mau mengabdikan dirinya dalam melakukan pekerjaan kemanusiaan yang mulia ini?”
Ungkap Willian Russel dalam tulisannya seperti dikutip dari Wikipedia
Tulisan William Russel sedikit banyak “membantu” tersulutnya api semangat seorang Florence Nightingale.
Banyak rakyat yang tergugah karena tulisan tersebut. Tak terkecuali Florence, yang saat itu masih bekerja di Institute for the Care of Sick Gentlewomen.
Florence lantas menulis surat kepada menteri penerangan saat itu, Sidney Herbert untuk mengajukan diri sebagai sukarelawan perang.
Dari sinilah diketahui bahwa Florence adalah satu-satunya wanit yang mendaftarkan diri menjadi sukarelawan dalam Perang Krimea.
Karena track recordnya, Sidney Herbert lantas meminta Florence untuk memimpin gadis-gadis sukarelawan lain yang sudah terlebih dahulu di medan pertempuran. Tercatat ada sekitar 38 gadis sukarelawan yang harus dipimpin oleh Florence, termasuk didalamnya Mai Smith, yang merupakan bibi Florence Nightingale.
Tahun 1854, tepatnya pada tanggal 21 Oktober, Tim Florence berangkat ke Turki dengan menumpang sebuah kapal, dan mendarat pada November 1854 di sebuah rumah sakit di pinggir pantai di Scutari, Turki.
Sesampainya di Scutari, kenyataan yang harus dihadapi Tim Florence sangatlah mengerikan, jauh dari apa yang mereka bayangkan sesaat sebelum tiba di Scutari.
Seperti dikutip dari wikipedia, ruangan rumah sakit penuh sesak dengan prajurit-prajurit yang terluka. Selain itu, beratur-ratus prajurit bergelimpangan di halaman luar rumah sakit tanpa adanya perawatan dan tenda yang memadai.
Kondisi tersebut diperparah dengan manajemen perawatan dan pengobatan yang terkesan asal-asalan. Dokter bekerja sangat cepat pada saat pembedahan karena banyaknya prajurit yang harus ditolong.
Berbagai potongan tubuh dari hasil amputasi ditumpuk begitu saja di luar jendela dan menyisakan bau menyengat yang mengerikan seakan berada di neraka.
Namun ya, itulah neraka krimea.
Sebuah perang yang terkenal karena kesalahan logistik dan taktis dari kedua belah pihak. Sebuah perang yang dianggap merupakan perang “modern” yang pertama karena penggunaan kereta api dan telegraf yang pada masa itu merupakan perangkat canggih yang tidak dimiliki oleh setiap bangsa.
Datangnya Florence beserta tim – diketahui, banyak dari anggota Tim Florence saat itu terguncang jiwanya dan tidak dapat langsung bekerja karena keadaan yang mereka lihat – membawa perubahan besar dalam manajemen perawatan dan pengobatan di Scutari.
Dengan seizin Mayor Prince, Dokter Kepala Rumah sakit Scutari, Florence mulai melakukan perubahan-perubahan penting dalam rumah sakit.
Ia mengatur tempat tidur, menyusun tempat para penderita yang begelimpangan di luar rumah sakit, serta mengatur perawatan dengan cermat dan teliti, diantaranya;
- Mengganti perban secara berkala
- Memberikan obat tepat pada waktunya
- Lantai rumah sakit dibersihkan dan di pel setiap hari
- Meja dan kursi dibersihkan
- Baju-baju kotor dicuci dengan meminta bantuan dari penduduk setempat
Hanya dalam waktu sebulan, keadaan rumah sakit telah berubah sama sekali.
Namun, karir dan jalan perjuangan tidak selamanya mulus. Akan selalu ada kerikil dan batu besar yang menghalau ditengah jalan.
Pun dengan Florence Nightingale.
Beberapa kebijakannya yang dinilai berlebihan, membuat kaum ibu di Inggris semakin menentang anak perempuan mereka menjadi perawat.
Hal ini dikarenakan kebijakan Florence terhadap perawat-perawatnya yang mengunci mereka di luar pada malam hari. Ini dilakukan untuk membuktikan pada orang tua mereka bahwa dengan disiplin yang keras dan dibawah kepemimpinan yang kuat, seorang wanit bisa dilindungi dari kemungkinan serang seksual.
Namun ternyata, hal tersebut menjadi sebuah blunder bagi Florence.
Fakta bahwa rumah sakit di Inggris ketinggalan dibandingan dengan rumah sakit-rumah sakit di dataran Eropa adalah karena kebijakan Florence yang kemudian menyebabkan kaum ibu di Inggris melarang anak-anak mereka untuk menjadi seorang perawat.
Keberadaan Florence juga “menyebabkan” angka kematian menjadi meningkat. Tercatat, pada musim dingin pertama Florence berada di Scutari, sebanyak 4077 prajurit meninggal dunia di rumah sakit.
Angka ini 10 kali lipat lebih banyak dibanding dengan jumlah prajurit yang meninggal karena penyakit seperti tipes, tifoid,kolera dan disentri.
Namun bukan Florence namanya jika hal tersebut mampu meruntuhkan semangatnya.
Florence percaya, bahwa meningkatnya kematian prajurit-prajurit tersebut lebih disebabkan karena kurangnya nutrisi dari suplai makanan dan beratnya beban pekerjaan tentara.
Setidaknya, keyakinan ini bertahan sampai Florence mengumpulkan bukti dihadapan Komisi Kerajaan untuk Kesehatan Tentara Inggris (Royal Commission on the Health of the Army) bahwa para prajurit tersebut meninggal akibat kondisi rumah sakit yang kotor dan memprihatinkan.
Dan karena hal inilah, dikemudian hari Florence dengan gigih mengkampanyekan pentingnya kebersihan lingkungan sebagai hal pertama dan utama dalam manajemen perawatan dan pengobatan.
karena hal ini pula-lah, angka kematian prajurit pasca perang menurun drastis. Hal ini menunjukan bahwa sistem pembuangan limbah dan ventilasi udara sebuah rumah sakit memegang peranan yang sangat penting dalam perawatan dan pengobatan.
Romantisme dan Heroisme The Lady with The Lamp
Panggilan Bidadari Berlampu atau The Lady with The Lamp mempunyai sejarah dan kenangan tersendiri dalam kehidupan Nightingale dan Perang Krimea.
Dan bagian inilah yang paling saya suka dari sosok Florence, bagaimana Ia menerjang bahaya di malam hari demi menolong selembar nyawa yang mungkin seharusnya melayang jika Tuhan tidak menggerakan hati seorang Florence.
Atau …
Nyawa tersebut mungkin seharusnya melayang jika Tuhan tidak mempertemukan Florence Nightingale dengan Mayor Prince, Dokter Kepala Rumah Sakit Scutari.
Dikutip dari Cook, E. T. The Life of Florence Nightingale(1913) Vol 1, p 237, pada suatu ketika, saat pertempuran di luar kota telah berlalu, seorang bintara datang dan melapor pada Florence bahwa dari kedua belah pihak banyak sekali korban yang berjatuhan.
Korban-korban tersebut datang dalam beberapa rombongan.
Rombongan pertama datang, namun jumlahnya hanya sedikit. Diketahui bahwa bintara tersebut mengatakan karena terlanjur gelap sehingga rombongan tertahan dan harus menunggu sampai besok hari.
Florence, yang tahu bagaimana persisnya keadaan korban-korban perang memaksa bintara tersebut untuk segera mengantarkannya ke bekas medan pertempuran, karena menunggu hari esok sama saja dengan membiarkan beberapa nyawa melayang tanpa adanya perawatan yang berarti.
Walaupun enggan, bintara tersebut akhirnya mengantarkan Florence karena diancam akan dilaporkan pada Mayor Prince.
Total 4 perawat hasil didikan Nightingale beserta Nightingale dan si Bintara, pada malam itu juga berangkat ke bekas medan pertempuran di kota.
Berbekal sebuah lentera, Florence memeriksa tubuh-tubuh yang bergelimpangan dan membawa siapa saja yang masih hidup dan masih bisa diselamatkan. Tak terkecuali prajurit musuh, Rusia.
Malam itu, 15 nyawa berhasil mereka selamatkan. 12 prajurit Inggris dan 3 prajurit Rusia.
Sejak itulah, setiap terjadi pertempuran, Florence beserta timnya berkeliling di malam hari dengan bermodalkan lentera untuk mencari prajurit-prajurit yang masih hidup dan bisa diselamatkan.
Dari situlah julukan The Lady with The Lamp tersemat pada Florence. Banyak nyawa yang mungkin seharusnya meninggal, namun berkat sang bidadari berlampu yang menolong di gelap gulita malam, berhasil di selamatkan.
Ah, saya jadi teringat sebuah dialog dalam Novel Habiburrahman El Shirazy yang berjudul Bumi Cinta :
“Mari Malchik, kita selamatkan selembar nyawa malam ini.”
Henry Longfellow, seorang penyair Amerika Serikat, pada tahun 1857 menulis puisi tentang Florence Nightingale yang berjudul “Santa Filomena”. Puisi tersebut melukiskan bagaimana seorang Florence Nightingale menyelamatkan prajurit-prajurit di rumah sakit tentara pada malam hari, sendirian dan hanya ditemani sebuah lentera;
“Pada jam-jam penuh penderitaan itu, datanglah sang bidadari berlampu untukku.”
Kisah tersebut bukanlah sebuah heroisme. Lebih dari itu, ia adalah sebuah romantisme, antara kegigihan hati dan cinta akan sesama umat manusia.
Meninggal Dunia
Florence Nightingale meninggal dunia pada usia 90 tahun. Tepatnya pada tanggal 13 Agustus 1910. Ia dimakamkan di Gereja St. Margaret, East Wellow, Hampshire, Inggris dengan menorehkan catatan emas sejarah yang berkilau hingga detik artikel ini ditulis dan akan terus berkilau sepanjang sejarah kehidupan umat manusia.
2 Comments
Pingback: 13 Mata Kuliah yang Harus Dikuasai oleh Seorang Perawat | Nerslicious
Pingback: Sejarah Keperawatan – Nala Niam Inayati