“Berapa skornya?”
Saya bertanya kepada perawat IGD saat saya membawa pasien ke ruangan ICU.
“Tiga,”
kata perawat tersebut dengan wajah menyesal.
Saya amati pasien yang terbaring di bed. Dia dalam kondisi fisik yang baik. Hanya sedikit lecet yang terlihat pada ekstremitasnya. Tapi mungkin kerusakannya bersifat internal.
Saya menatapnya, menepuk bahunya dan memanggil namanya, tidak ada jawaban. Saya menggosok bagian dadanya berharap dengan stimulus sakit dia akan memberikan respon, namun ternyata hampa, kosong, dan tidak berespons sama sekali. Pupilnya telah dilatasi dengan refleks kornea negatif.
Dia masih muda. Mungkin berusia sekitar dua puluhan. Otaknya sudah tidak berfungsi lagi dan hanya sistem saraf otonom robotik yang masih bekerja menjaga sisa-sisa dari tanda-tanda vital organ tubuhnya. Namun saya tahu, bahwa sebentar lagi, semuanya akan memudar dan hilang; mati.
Dia korban kecelakaan lalu lintas tadi pagi. “Betapa malangnya, betapa sia-sia,” saya berkata pada diri sendiri.
Namun inilah kehidupan. Kita hanya peminjam yang telah diberi nomor antrian. Setelah masa peminjaman selesai, maka selesailah semuanya.
Dalam pemikiran yang mendalam, saya tahu betul bahwa sangat sulit untuk hidup setiap hari dalam kehidupan yang penuh dalam ketidakpastian. Apa yang akan datang bahkan untuk setiap detiknya, kita belum tahu pasti.
Beberapa jam yang lalu, ibu pasien tersebut menerima telepon dari nomor anaknya, tapi bukan dia yang menelpon, melainkan staf rumah sakit yang menginformasikan bahwa anaknya dibawa ke IGD.
Hari itu bisa saja hari yang baik-baik saja dan normal-normal saja bagi keluarga pasien tersebut, sampai saat kabar buruk tersebut datang.
Tadi malam, pasien tersebut masih bersenda gurau dengan ibu dan keluarganya. Sekarang dia di intubasi di ICU, dalam kondisi koma. Sungguh mengejutkan bagaimana kehidupan bisa berubah dengan cepat.
Saya mengizinkan anggota keluarga untuk melihat pasien, berpasangan satu demi satu untuk menjaga kondusifitas ruangan ICU.
Saya tahu mereka semua tidak menyangka hal tersebut akan terjadi. Pada saat itu, tidak ada satupun yang menangis, saya tahu mereka masih berusaha membawa kepingan-kepingan kenangan kehidupan kedalam sebuah nampan kenyataan dan berusaha memahami gambaran sebenarnya yang terhampar di hadapan mereka.
Ya, mereka mungkin masih dalam fase denial karena kejadian ini begitu cepat terjadi. Sesuatu yang tidak bisa mereka perkirakan akan terjadi.
Kemudian, seorang dokter datang. Ia menjelaskan tentang kondisi pasien dan bagaimana CT Scan menunjukan kerusakan yang parah pada otaknya sehingga operasi pun tidak akan berguna. Alat-alat yang terpasangpun hanya sanggup menunda, tapi tidak membantu apapun untuk kesembuhan pasien.
Dokter tersebut membantu mereka menemukan kepingan-kepingan kenangan dan kenyataan yang sebelumnya hilang, dan kini hal tersebut tergambar dengan jelas di hadapan mereka ; bahwa dia sudah pergi dan tidak akan terbangun lagi.
Akhirnya, tetesan-tetesan air mata mulai membasahi lantai dimana kami saat itu berpijak. Sang ibu bahkan harus ditopang karena kaki-kakinya sudah tidak kuat lagi menopang kenyataan yang berada dihadapannya.
Itulah diagnosa dokter dan pilihan yang diberikan kepada keluarga pasien tersebut. Takdir siapa yang tahu, tapi kami sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan selain membiarkan alat-alat ICU menopang kehidupanya.
Namun kami sadar, itu hanya bersifat sementara dan hanya akan menyakiti tubuh dan jiwa pasien. Kami kembalikan semuanya kepada Yang Maha Kuasa dan meninggalkan mereka, memberi waktu untuk berfikir dan memutuskan.
15 menit kemudian, perwakilan keluarga akhirnya memutuskan untuk memasukan tanda tangannya pada rentetan formulir rumah sakit yang harus disetujui oleh keluarga.
Saya tahu, itu adalah keputusan yang sulit dan menyakitkan bagi mereka. Kami seharusnya bisa berusaha lebih baik lagi. Namun apa daya. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, sisanya hanya Yang Maha Kuasa yang tahu.
Namun, bukankah anak-anak seharusnya mengucapkan selamat tinggal kepada orang tua mereka saat mereka bertambah tua dan menjadi sakit-sakitan?
Obat inotropik yang terus berlanjut membuat jantungnya terus berdetak. Namun RJP, defibrilasi, dan obat-obatan lainnya tidak akan lagi diberikan jika terjadi henti jantung.
Saya telah memberi mereka perkiraan waktu kapan efek obat tersebut akan berakhir. Saya menyarankan mereka untuk menggunakan sisa waktu yang mereka miliki untuk berdoa dan mengucapkan selamat tinggal.
Setidaknya, itulah hal terakhir yang bisa saya lakukan untuk mereka, walaupun hanya beberapa menit saja.
Detik berganti menit, pecahlah ruangan tersebut dengan isak tangis yang begitu amat menyesakkan siapapun yang mendengarnya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiu’un….
Itulah kehidupan. Kita menandatangani kontrak polis tanpa jaminan saat kita lahir. Ketidakkekalan adalah sesuatu yang permanen. Tidak dapat di rubah ataupun diganti dengan apapun.
Banyak diantara kita yang mengatakan bahwa hiduplah seperti hari yang sedang kita jalani adalah hari terakhir kita di dunia. Namun, bagi mereka yang sedang berjuang dalam ambang hidup dan mati akan mengatakan bahwa mereka harus menjalani hidup mereka seolah-olah mereka akan tinggal lebih lama lagi di dunia ini.
Hidup begitu kompleks untuk dipahami dan kematian terlalu bijak untuk diakali. Tapi kita sebenarnya tidak harus melakukan hal-hal seperti itu karena hal tersebut berada di luar jangkuan kita untuk mencampuri urusan kehidupan dan kematian. Apa yang bisa kita lakukan sebagai manusia hanyalah : Hope and just live.
“Every Night we go to bed, with no assurance of waking up the next morning, but we still make plans for tomorrow… That’s Hope”.
Anonymous
No Comments
Saya gak bisa bayangkan…..gimana rasanya menjadi perawat, yang setiap hari harus berhadapan dengan pasien yang ada saja kasusnya. Bahkan, pastilah banyak kesempatan, berhadapan dengan tarik-ulur hidup mati seseorang.
Saya jadi berpikir tentang dampak psikologisnya….itu gimana ya bang?