Pengertian
Diabetes mellitus tipe 1 adalah penyakit kronis sistem endokrin yang mana pada umumnya dimulai pada masa anak-anak dimana terjadi penurunan produksi insulin sebagai akibat kerusakan sel-sel β pankreas oleh autoimun tubuh yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia kemudian bermanifestasi sebagai gejala klasik polidipsia, poliuria dan polifagia.[1]
Etiologi
Diabetes mellitus tipe 1 sebagai penyakit autoimun sampai saat ini belum diketahui penyebab secara pastinya. Dahulu, penyakit ini disebut sebagai childhood-onset diabetes atau juvenile diabetes karena terjadi sejak anak-anak dan untuk membedakannya dengan diabetes mellitus tipe 2 yang dikenal sebagai adult-onset diabetes.
Namun, perkembangan ilmu pengetahuan terkini menunjukan bahwa diabetes mellitus tipe 2 juga bisa terjadi pada anak-anak, sehingga penggunaan istilah tersebut diatas sudah tidak relevan lagi.[5,6]
Walaupun penyebab terbentuknya auto-antibodi yang merusak sel-sel β pankreas masih belum diketahui, namun penelitian menunjukan bahwa adanya faktor-faktor risiko yang berperan dalam pembentukan auto-antibodi tersebut.
Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 1
1. Faktor Genetik
Berikut adalah gen yang rentan terhadap terjadinya diabetes mellitus tipe 1:
- HLA: kombinasi genotip DR4-DQ8/DR3-DQ2: paling utama dan umum menyebabkan DM 1, 90% terdapat pada anak-anak penderita DM 1
- Bayi yang memiliki gen ini, onset timbul DM 1 lebih dini daripada bayi yang memiliki gen lainnya
- Kromosom II, 10% kontribusi timbulnya DM 1
- Kromosom 2q33 sebagai gen ketiga yang rentan terhadap timbulnya DM 1
- Varian PTPN22, gen encoding LYP sebagai gen ke-4 yang rentan terhadap DM 1
2. Faktor Lingkungan
Interaksi faktor genetik dengan faktor lingkungan yang diduga berperan terhadap terjadinya penyakit diabetes mellitus tipe 1:
- Infeksi virus seperti enterovirus, rotavirus dan rubella
- Bakteri, contohnya Mycobacterium avium paratuberculosis
- Diet
- Zat-zat kimia beracun[3]
Tanda & gejala
Tanda dan gejala diabetes mellitus tipe 1 seringkali tidak kentara namun jika dibiarkan akan bertambah parah, diantaranya;
- Rasa haus yang ekstrim
- Rasa lapar meningkat (terutama setelah makan)
- Mulut kering
- Sakit perut dan muntah
- Sering buang air kecil
- Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, meskipun sedang makan dan merasa lapar
- Kelelahan
- Penglihatan kabur
- Napas berat dan sulit (pernapasan Kussmaul)
- Sering mengalami infeksi pada kulit, saluran kemih, atau vagina Anda
- Rasa senang atau mood berubah
- Mengompol pada anak di malam hari
Tanda-tanda darurat dengan diabetes tipe 1 meliputi:
- Gemetar dan kebingungan
- Nafas cepat
- Bau nafas
- Sakit perut
- Kehilangan kesadaran (jarang)
Patofisiologi
Diabetes mellitus tipe 1 terjadi dikarenakan terjadinya penurunan sekresi insulin akibat autoantibodi yang merusak sel-sel pulau Langerhans pada pankreas dengan penjabaran sebagai berikut:
Kerusakan Sel Pulau Langerhans Pankreas akibat Mekanisme Autoimun
Kerusakan sel pulau Langerhans pankreas pada diabetes mellitus tipe 1 terjadi akibat terbentuknya autoantibodi. Mekanisme autoimun ini masih tidak diketahui penyebabnya, tetapi diduga berhubungan dengan faktor genetik dan paparan faktor lingkungan. Autoantibodi yang terbentuk akan merusak sel-sel β pankreas di dalam pulau-pulau Langerhans pankreas disertai terjadinya infiltrasi limfosit. Kerusakan sel β pankreas ini tidak terjadi dalam jangka pendek tetapip dapat terjadi hingga bertahun-tahun tanpa diketahui karena gejala klinis baru muncul setelah setidaknya 80% sel β pankreas mengalami kerusakan.
Hiperglikemia dan Komplikasinya
Kerusakan sel-sel β pankreas akan menyebabkan terjadinya penurunan sekresi insulin. Defisit insulin ini kemudian akan menyebabkan terjadinya hiperglikemia yang bila terus memburuk akan menyebabkan penderita mengalami hiperosmolaritas dan dehidrasi.
Hiperglikemia juga akan menyebabkan terjadinya degenerasi akson dan demielinisasi segmental sehingga penderita akan mengalami neuropati. Selain itu, hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya penumpukan sorbitol pada saraf sensorik perifer yang menyebabkan terjadinya neuritis.
Hiperglikemia juga akan menyebabkan gangguan pada sistem pembuluh darah mikro maupun makro di mata ginjal, otak, dan jantung, sistem katabolisme tubuh, serta gangguan elektrolit.[3,4]
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis diabetes mellitus tipe 1 dimulai dari anamnesis (terutama 3 gejala klasik diabetes: poliuria, polidipsi, dan polifagia), pemeriksaan fisik (tidak hanya terkait diabetes tetapi juga komplikasinya), serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis diabetes mellitus dimulai dengan membedakan antara pasien baru yang belum mengetahui mengidap diabetes dan pasien yang telah diketahui mengidap diabetes.
Anamnesis diabetes harus dilakukan secara komprehensif, mencakup komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Hal yang perlu ditanyakan terdiri dari:
- Masalah penglihatan dan riwayat kontrol ke dokter mata
- Gejala penyakit ginjal dan riwayat cek laboratorium fungsi ginjal pasien
- Tekanan darah dan pengobatan tekanan darah pasien (jika tinggi)
- Gejala klaudikasio
- Riwayat bypass vascular
- Riwayat stroke atau transient ischemic attack (TIA)
- Kadar kolesterol pasien dan riwayat pengobatan kolesterol pasien
- Riwayat dan gejala neuropati pasien, termasuk disfungsi ereksi
- Ulkus kaki, amputasi, infeksi pada kaki
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan terutama terhadap manifestasi diabetes serta komplikasinya. Pada kasus baru, pemeriksaan fisik umumnya normal. Pada pasien yang datang dengan ketoasidosis diabetik, dapat ditemukan adanya pola respirasi Kussmaul, tanda dehidrasi, tekanan darah rendah, serta penurunan status mental.
Pemeriksaan fisik untuk pasien diabetes mellitus tipe 1 juga harus mencakup pemeriksaan terkait komplikasi diabetes. Pemeriksaan komplikasi mencakup pemeriksaan mata (funduskopi) dan pemeriksaan kaki, serta komplikasi lainnya seperti infeksi, nefropati dan neuropati diabetik, dan komplikasi makrovaskular berupa aterosklerosis yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit arteri perifer.
Poin pemeriksaan fisik terkait diabetes mellitus tipe 1 adalah sebagai berikut:
- Penilaian tanda-tanda vital
- Penilaian pola respirasi pasien: tanda pola respirasi Kussmaul
- Pemeriksaan funduskopi
- Pemeriksaan abdomen: nyeri tekan kuadran kanan atas
- Pemeriksaan pulsasi vaskular pada dorsalis pedis dan posterior tibialis
- Pemeriksaan kaki:
- Tanda infeksi kaki
- Pulsasi: pulsasi yang lemah atau tidak teraba menandakan aliran darah yang buruk
- Pemeriksaan neurologis[1, 4, 9-11]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding diabetes mellitus tipe 1 adalah sebagai berikut:
- Diabetes Mellitus tipe 2
- Hiperglikemia sekunder
- Gangguan lokal pada jaringan lemak, hepar, otot
- Gangguan endokrin, seperti tumor endokrin, penyakit Addison, Graves disease, Hashimoto tiroiditis, acanthosis nigricans
- Obat-obatan: obat seperti diuretik, phenytoin, dan glukokortikoid dapat menyebabkan hiperglikemia
- Pankreatitis kronis
- Fibrosis kistik
- Sindrom Prader-Willi
- Glikosuria nondiabetik
- Renal glikosuria
- Neuropati perifer disebabkan penyalahgunaan alkohol, atau defisiensi vitamin B-12[1,6,9,11,14]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diabetes mellitus tipe 1 berupa pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium utama berupa pemeriksaan kadar gula darah dan HbA1c untuk diagnosis dan kontrol diabetes mellitus.
1. Pemeriksaan Gula Darah
Diabetes mellitus didiagnosa berdasarkan kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dL atau kadar gula darah puasa di atas 126 mg/dL. Jika kadar gula darah di bawah angka tersebut tapi pasien memiliki gejala klasik diabetes (polidipsi, poliuria, polifagia), lakukan pemeriksaan ulang. Jika hasil tetap di bawah batas di atas, lakukan pemeriksaan toleransi glukosa.
Pada pasien yang tidak memiliki gejala klasik diabetes, jika kadar gula darah puasa di antara 100-125 mg/dL atau kadar gula darah sewaktu antara 140-199 mg/dL, lakukan pemeriksaan toleransi glukosa. Pasien tanpa gejala klasik dengan kadar gula darah puasa <100 mg/dL atau kadar gula darah sewaktu <140 mg/dL dapat langsung didiagnosis sebagai tidak terkena diabetes mellitus.
2. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Tes toleransi glukosa oral dilakukan dengan mengukur kadar gula darah puasa. Pasien kemudian diberikan larutan glukosa oral 75 gram dan kembali diukur kadar gula darahnya 2 jam setelah meminum larutan glukosa tersebut. Pada diabetes gestasional, pengukuran juga dilakukan pada 1 jam pasca meminum larutan glukosa.
Hasil tes toleransi glukosa oral sebesar >200 mg/dL dikategorikan sebagai diabetes mellitus, 140-199 mg/dL toleransi glukosa terganggu, dan di bawah angka tersebut dikategorikan sebagai normal.
3. Hemoglobin A1c (HbA1c)
HbA1C merupakan pengukuran gold standard terhadap kontrol diabetes dalam keberhasilan tata laksana diabetes. Walau demikian, pemeriksaan ini juga sudah dianjurkan oleh sebagian literatur sebagai alat diagnostik diabetes mellitus.
Kadar HbA1C menggambarkan perkiraan kadar glukosa selama tiga bulan yang lalu sehingga tepat digunakan untuk monitor keberhasilan terapi, dan memprediksi progres komplikasi diabetes mikrovaskular. Hal inilah yang menjadikannya jauh lebih unggul untuk kontrol diabetes dibandingkan dengan pemeriksaan kadar gula darah yang hanya dapat melihat kadar gula darah pada satu waktu dan tidak dapat memprediksi komplikasi. Nilai rujukan untuk pasien diabetik adalah HbA1c ≥ 6.5%
Pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan pada pasien dengan:
- Sel darah merah abnormal seperti pada anemia hemolitik, atau anemia defisiensi besi
- Anak-anak dengan perkembangan penyakit DM 1 yang cepat
- Diabetes neonatal[15]
Pemeriksaan untuk Membedakan Diabetes Mellitus Tipe 1 dan 2
Untuk membedakan diabetes mellitus tipe 1 dan 2, pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
- Kadar insulin
- Kadar C-peptide: dibentuk selama konversi proinsulin ke insulin
- Kadar insulin atau C-peptide < 0,6 ng/mL mengarah kepada diabetes mellitus tipe 1 Kadar C-peptide puasa > 1 ng/dL pada penderita diabetes sekitar lebih dari 1-2 tahun mengarah kepada diabetes mellitus tipe 2
- Marker auto antibodi untuk penentuan tipe diabetes mellitus, contohnya glutamic acid decarboxylase (GAD)[10]
Pemeriksaan Laboratorium Lainnya
Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat dilakukan berupa hitung jenis leukosit, kultur darah, dan urin bila ada kecurigaaan infeksi atau sepsis. Kadar plasma aseton, yaitu β-hidroksibutirat bermanfaat untuk menilai ada tidaknya ketoasidosis diabetik, nilai normalnya < 0,4-0,5 mmol.
Pemeriksaan terhadap ketoasidosis diabetik juga dapat dilakukan berdasarkan kadar keton darah. Pada ketoasidosis diabetik, perlu juga dilakukan pemeriksaan elektrolit karena sering kali ditemukan gangguan kalium.[16]
Pemeriksaan laboratorium lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kadar kolesterol darah serta pemeriksaan fungsi ginjal jika dicurigai adanya komplikasi nefropati.[1, 4, 9, 11, 12, 14]
Penalaksanaan medis
Penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 1 berupa terapi non farmakologis seperti olah raga dan diet serta terapi farmakologis yaitu pemberian insulin. Diet dan penggunaan insulin yang dijalankan dengan baik merupakan kunci untuk mencegah terjadinya kegawatdaruratan, baik ketoasidosis diabetik maupun hipoglikemia berat.[9, 14]
Terapi Awal
Insulin diberikan dengan dosis awal 0,25 unit/kgBB subkutan menggunakan insulin rapid-acting. Pada anak usia < 4 tahun, atau tidak berada dalam status ketotik, dosis awal dapat dikurangi menjadi 0,125 unit/kgBB.
Terapi Lanjutan
Ada dua standar regimen insulin yang dapat dipilih di bawah ini:
Dua kali suntikan per hari dengan kombinasi insulin yang short dan intermediate-acting dengan dosis total 1 unit/kgBB/hari dibagi 2/3nya pada pagi hari dan 1/3nya pada malam hari. Dosis pagi hari menggunakan insulin intermediate-acting dan 1/3nya short acting.
Multipel suntikan per hari dengan insulin analog long-acting malam hari dan suntikan sebelum makan dengan insulin analog rapid-acting dengan dosis 0,4 unit/kgBB sebagai insulin basal menggunakan long-acting insulin pada jam 20.00-21.00 kemudian dilanjutkan dengan 0,6 unit/kgBB insulin rapid-acting terbagi dalam 3 dosis sebelum makan pagi, siang, dan malam. Kelemahan metode ini adalah pasien musti cukup mengerti dan mampu menyuntikkan insulin sendiri sehingga biasanya dilakukan pada anak usia >10 tahun.[17]
Penanganan Pasien Lama
Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 yang datang dengan hiperglikemia dan ketosis dengan pH darah normal, berikan dosis tambahan sebesar 10% total dosis insulin per hari secara subkutan dalam bentuk insulin rapid-acting lalu monitor kadar gula darah dan keton tiap 1-2 jam. Dosis ini dapat diulangi setelah 2-4 jam bila kadar keton darah masih di atas 1,0 mmol/L.
Terapi Nonfarmakologis
Selain terapi insulin, pasien diabetes mellitus tipe 1 juga memerlukan penanganan nonfarmakologis berupa diet dan olah raga. Untuk diet, pasien dan keluarga harus mengerti mengenai jumlah kalori, karbohidrat, protein, dan lemak yang harus dikonsumsi, serta cara membaginya antara makan pagi, siang, malam, dan juga cemilan.